Gunawan Muhammad
http://caping.wordpress.com/tentang-goenawan-mohamad/
Goenawan Mohamad has been a crusader for press freedom since his university days, when he set up the short-lived independent student newspaper Harian Kami in 1967, just a couple of years after Suharto engineered the overthrow of Indonesia’s founding president, Sukarno. Now, after sparring for decades with Suharto’s authoritarian government, it is Mohamad who remains on the public stage while his nemesis has been forced to resign.
======= > Jim Lehrer
Another winner of the International Press Freedom Award this year was Goenawan Mohamad, founder and Editor of Tempo Magazine, Indonesia’s most widely circulated weekly. His magazine was officially banned in 1994, but reopened in October, following the ouster of Indonesian President Suharto. Mr. Mohamad is also a poet. And we asked NewsHour contributor Robert Pinsky, Poet Laureate of the United States, to read one of his poems.
======= > Kurnia Effendi
Kini, setelah meletakkan tugasnya sebagai pemimpin redaksi majalah Tempo, ia menjadi seorang kreator yang lebih bebas secara kedinasan, namun tetap terikat deadline Catatan Pinggir majalah Tempo yang terbit sekali seminggu. Agaknya, tidak semata menulis secara tunggal saja ia bekerja; GM juga menciptakan komposisi pertunjukan bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel dengan karya libretto untuk opera Kali (1996 sampai dengan 2003, dengan sejumlah revisi). Pementasan di Seattle (2000) dan New York, berjudul The Kings’s Witch – bersama Tony Prabowo.
======= > The International Artist Database
Goenawan Mohamad writes critical remarks on the press, on the massive corruption and lack of human rights and of democratic tradition in Indonesia. His tireless fight for freedom of expression has led to the foundation of several new media organisations and made the Indonesian press one of the most free in South Asia.
Writer, editor, activist, and poet, for more than 30 years Goenawan has set standards for journalists around the world. Ever hopeful, he looks forward to continuing change in Indonesia. “It’s like building a new country”, he says.
======= > Asialink
Goenawan Mohamad: Writer, journalist, and cultural leader, Jakarta. Theatre: an Encounter with the Strange. A collaborative work is not a hybrid of representations of ‘cultures’. As I see it, the crucial thing is to see the performing art as something built on
differences, not identities, in a continuing, and intense, discovery. In the Javanese puppets theatre, this is underlined by the shifting personas of the wayang characters. Their identities (‘names’) are often related to a particular situation they are in — incidentally reminding us that a permanent identity is a modern state’s way of comprehending the human.
differences, not identities, in a continuing, and intense, discovery. In the Javanese puppets theatre, this is underlined by the shifting personas of the wayang characters. Their identities (‘names’) are often related to a particular situation they are in — incidentally reminding us that a permanent identity is a modern state’s way of comprehending the human.
The flat puppets, each is created in a highly stylized and unfamiliar form, suggests not a representation of ‘reality’ as depicted by a Renaissance work of art. The wayangs are an open invitation to a realm where the human subject does not put him/herself in control. The wayangs’ ‘lives’ are a perpetual encounter with the Strange.
Perhaps this is part of the excitement of the theatre both as a form and as a narrative; one can speak of the Strange in Oedipus, Hamlet, Brecht’s Good Woman of Sezchuan, Becket’s Godot.

Goenawan Soesatyo Mohamad (Karangasem Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941) adalah seorang pujangga Indonesia yang terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai dari pemain sepakbola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman dan musik, dan lain-lain. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Tulisan-tulisan awalnya meliputi: Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Sementara tulisannya yang lebih aktual mencakup Parikesit dan Interlude (2001), Kata, Waktu (2001). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.
Goenawan Susatyo Mohamad
Sastrawan ‘Catatan Pinggir’
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.
Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).
Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.
0 komentar:
Posting Komentar